Jumat, 29 Mei 2015
Estika Bentuk - Olah Bentuk
08.03
Isna Fitriantika
No comments
Dengan pengurangan beberapa bagian membuat sebuah balok menjadi lebih indah dan memdapatkan bentuk yang baru.
Sabtu, 23 Mei 2015
Change Our Life
05.53
Isna Fitriantika
No comments
Hanya suara mengeluh yang terdengar.
Serasa.... hanya kita yang mengalami masalah seberat ini.
Terpuruk? iya benar, ditambah lagi dengan teman-teman yang mulai menjauh.
Seakan.... kita sendirian menghadapi masalah seberat ini.
Lalu segala hal negative mulai berlalu lalang dipikiran.
Ingin rasanya berhenti, menyerah, masa bodoh, acuh, ingin berpaling dan meninggalkan masalah....semua bersatu dalam pikiran dan benak ini.
Alur pikirku mulai berubah... saat aku bertemu dengan seseorang biasa tapi bagiku beliau hebat.
Seorang pengsiunan yang tinggal sendirian di sebuah rumah yang... aku pikir cukup mewah itulah, yang telah merubah alur ini.
Dulu beliau pernah belajar sebagai mahasiswa arsitektur di sebuah universitas di Makasar selama 2 semester. Sampai suatu saat ibunya sakit dan beliau harus kembali ke Semarang dan melanjutkan pendidikannya di Teknik Sipil. Aku tidak tahu mengapa beliau tidak mengambil jurusan yang sama seperti sebelumnya. Tapi, satu hal yang aku dapatkan dari beliau saat aku bertanya "enak mana antara arsitektur dan sipil?". Dan beliau menjawab semua jurusan itu sama tetapi tergantung kita menyikapinya. Sebenarnya jadi mahasiswa arsitektur itu menyenangkan, kita dapat menggambar gedung, jalan-jalan survey, mengembangkan imajinasi dan daya kreatifitas. Tapi hal-hal yang membuat mahasiswa merasakan sangat berat dan penuh tekanan adalah tugas yang banyak dan dateline. Itu semua dikembalikan kepada masing-masing dari kita. Saat dihadang oleh masalah itu ambil hal-hal yang membuat bahagia maka selanjutnya pekerjaanmu akan dimudahkan. Anggap suatu pekerjaan adalah sebuah kebahagiaan. Toh seandainya kita mundur dan berpaling ke jurusan lain itu akan sama saja, kita harus beradaptasi kembali dan itu tidak mudah.
Selagi di dirimu dan hatimu masih ingin berjuang di Arsitektur, turuti dan jalani dengan penuh kebahagiaan bukan tekanan....Karena yang mengalami hal tersebut bukan cuma kamu saja tapi lihatlah, teman-teman disekelilingmu juga merasakan hal yang sama. Untuk itu tularkan energi positif kepada mereka agar mereka mampu bertahan dan berjuang bersamamu sampai toga ada ditanganmu dan kesuksesan telah menemanimu.
Terimakasih untuk beliau yang telah mengubah alur pikirku...yang telah menginspirasiku. Karena kesendirian yang dialami beliau tetap membuat beliau bersemangat untuk menjalani kehidupan dengan penuh kebahagiaan. Semoga beliau selalu dalam lindungan Tuhan dan selalu dikelilingi oleh kebahagiaan. Amin,
Jumat, 15 Mei 2015
Perancangan Rumah Ramah Lingkungan
01.10
Isna Fitriantika
No comments
KONSEP PERENCANAAN ARSITEKTUR 2
Pemanasan global menjadi ancaman dan perhatian serius bagi seluruh penghuni bumi. Melakukan penghematan energi bisa dilakukan mulai dari hal-hal kecil, termasuk dari konsep desain rumah tinggal.
Rumah ramah lingkungan artinya rumah yang mengintegrasikan seluruh proses dalam kesatuan dengan mempertimbangkan akibatnya bagi lingkungan. Artinya, sejak awal proses desain, pembangunan dan pemanfaatan bangunan berbagai segi dipertimbangkan.
Aspek yang harus dipertimbangkan utamanya adalah:
1. Konsumsi sumber daya yang hemat dan efisien (energi, material, air dan lahan)
2. Emisi baik terhadap udara, air dan tanah terkait dengan lingkungan dan kesehatan
3. Lain-lain (seperti kebisingan dan getaran).
Desain rumah ramah lingkungan merupakan bentuk dukungan terhadap keramahan lingkungan. Yang berarti, haruslah hemat energi, karena eksplorasi terhadap penggunaan energi dapat mengancam kehidupan generasi penerus. Gerakan penghematan energi bisa dilakukan kala kita hendak membangun rumah baru atau merenovasi rumah. Apa sajakah itu?
1. Efisiensi Pencahayaan
Manfaatkan semaksimal mungkin cahaya matahari sebagai sumber cahaya di pagi hingga sore hari. Menggunakan cahaya matahari dapat menghemat energi listrik dari lampu yang digunakan di siang hari. Pencahayaan alami bisa diperoleh melalui pencahayaan samping yaitu dari jendela, dan pencahayaan atas yang berasal dari lubang atap. Buatlah desain rumah yang lebih terbuka pada dinding dan atap, agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah secara lebih maksimal. Mengurangi sekat ruangan, menyatukan fungsi ruang, dapat memaksimalkan cahaya yang masuk ke dalam rumah.
2. Efisiensi Ruang
Menggabungkan lebih dari satu fungsi dalam satu ruangan, adalah pilihan baik, dibanding harus memboroskan ruang. Misalnya meniadakan fungsi ruang tamu, karena kita jarang menerima tamu, atau lebih sering menerima tamu di teras. Buat saja ruang keluarga yang lebih besar, agar bisa nyaman dan maksimal untuk bercengkrama sekaligus menerima tamu yang sudah kenal dekat. Dalam hal ukuran bangunan, lebih besar tidak selalu lebih baik. Karena makin kecil (baca : sederhana) bangunan, akan makin baik control aspek lingkungan terhadap bangunan tersebut. "Bangunan ramah lingkungan, dirancang dengan massa ruang, keterbukaan ruang, dan hubungan ruang luar-dalam yang cair, teras lebar, ventilasi bersilangan, dan void berimbang."
3. Pembayangan Ruang Luar, Kulit Bangunan, Ventilasi
Pemilihan bahan dan desain pembayangan, serta bukaan ventilasi yang baik, mempengaruhi kenyamanan dan energi dalam rumah. Berikan secondary skin pada dinding bagian luar, terlebih jika rumah menghadap ke arah barat. Buat teritisan di atas bukaan, yang fungsinya meredam panas matahari secara langsung ke dalam rumah. Bangunan dirancang dengan teras lebar, ventilasi bersilangan; yaitu membuat bukaan (jendela) pada dua dinding yang berbeda, innercourt serta void berimbang, untuk sirkulasi udara dan cahaya alami ke seluruh ruangan, agar hemat energi.
4. Atap yang “Dingin”
Pilih bahan penutup atap yang memiliki nilai hambatan hantaran panas cukup besar, dan kemampuan memantulkan panas dengan baik. Penggunaan atap dari bahan tanah atau keramik, sangat baik untuk kenyamanan ruang dalam. Tambahkan pula lembaran aluminium foil yang dipasang di bawah penutup atap. Material styrofoam yang dilapis beton (beton Styrofoam) juga berpotensi membuat dingin ruang dalam. Dinding rumah tetap terasa “dingin” meskipun saat siang hari.
5. Material Ramah Lingkungan
Gunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah lingkungan. Pilih produk lokal yang berkualitas, untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi lingkungan, mengurangi pemakaian sumber daya alam tak terbarukan dengan optimalisasi bahan baku alternatif, serta menghemat penggunaan energi secara keseluruhan. Memilih bahan baku lokal atau dari pabrik terdekat berarti menghemat transportasi dan mengurangi karbon emisi dari kendaraan. Tak ada salahnya, memanfaatkan material bekas atau sisa bahan renovasi, misalnya genteng bekas, kayu atau bambu bekas perancah, kusen lama.
6. Pemanfaatan Lahan Hijau
Elemen vegetasi berpotensi untuk menyejukkan lingkungan dan menurunkan udara panas, serta meredam panas. Semakin banyak pohon yang ditanam, udara makin sejuk dan oksigen yang dihasilkan dapat mencegah pemanasan global. Ciptakan roof garden atau vertical garden, jika halaman tidak memungkinkan. Dinding yang dijalari tanaman rambat membuat suhu udara di luar dan di dalam turun, sekaligus untuk pasokan udara bagi penghuni.
7. Gaya Hidup Hemat
• Hemat Air. Kurangi kebiasaan berendam di bathtub, mencuci kendaraan dengan air yang mengalir
dan terbuang kemana-mana. Ganti bak mandi atau bathtub dengan shower , untuk menghemat air.
• Buat sumur resapan, lubang biopori atau septictank ramah lingkungan yang tidak mencemarkan
lingkungan.
• Memakai perangkat elektronik dan rumah tangga yang hemat energi, akan berpengaruh dengan
biaya listrik yang dikeluarkan tiap bulan. Pilih yang hemat energi listrik, sehingga memiliki life
cost yang ringan untuk operasionalnya.
sumber :
TAHAPAN PERANCANGAN
- Yang dapat kita lakukan sebelum merancang sebuah rumah adalah menentukan konsep atau tema
yang diusung dalam rumah tersebut.
- Selanjutnya membuat bagan alur pikir , agar kita terarah dalam merancang sebuah rumah.
- Menganalisa penghuni dan aktivitas didalamnya, untuk mendapatkan kebutuhan ruang yang harus
dipenuhi.
- Berikutnya , menganalisis persyaratan ruang dan hubungan ruang tersebut.
- Selesai menganalisis kita dapat menentukan besaran ruang yang dibutuhkan pada setiap ruang.
- Selanjutnya yaitu membuat organisasi ruang.
- Setelah dari organisasi ruang langkah berikutnya yaitu membuat sirkulasi ruang dengan
menganalisis alur ruang yang dilalui setiap penghuni rumah. Agar tidak terjadi sirkulasi yang
membingungkan dan bertabrakan.
- Dalam merancang rumah, kita juga harus mengetahui lokasi site rumah tersebut. Melalui analisa
fisik yang berupa analisa kebisingan, pencahayaan, pencapaian, dan view kita akan mendapatkan
area atau zoning rumah, yaitu privat, servis, publik, dan semi publik.
- Lalu kita juga mengambil suatu pendekatan dalam merancang rumah. Baik dari segi gubahan
massa maupun penerapan konsep tersebut. Misalnya dengan konsep ramah lingkungan, kita dapat
mengaplikasikan biopori, vega (vertikal garden), grass block dan masih banyak lagi.
- Dan langkah terakhir yaitu saatnya kita mendesain. Saat mendesain kita harus melihat progran
ruang yang dibuat sebelumnya agar tercapai tujuan konsep pembuatan rumah yang sesuai dengan
kebutuhuan dan keinginan penghuni.
Jumat, 08 Mei 2015
Biografi Kenzo Tange
02.12
Isna Fitriantika
No comments
Kenzo Tange (丹 下 健 三, Kenzo Tange, 4 September, 1913 - 22 Maret 2005) adalah seorang arsitek Jepang, dan pemenang Pritzker Prize tahun 1987 untuk arsitektur. Dia adalah salah satu arsitek paling signifikan dari abad ke-20, yang menggabungkan gaya tradisional Jepang dengan modernisme, dan merancang bangunan utama di lima benua. Tange juga merupakan tokoh berpengaruh dari gerakan strukturalis. Dia mengatakan: "Itu, saya yakin, sekitar 1959 atau pada awal tahun 60-an yang saya mulai berpikir tentang apa yang saya kemudian untuk memanggil strukturalisme", (dikutip dalam Rencana 2 / 1982, Amsterdam).
Dipengaruhi dari usia dini oleh modernis Swiss, Le Corbusier, Tange mendapat pengakuan internasional pada tahun 1949 ketika dia memenangkan kompetisi untuk desain Hiroshima Peace Memorial Park. Bergabung dengan kelompok arsitek yang dikenal sebagai Tim X di akhir 1950-an ia mengarahkan kelompok ke arah gerakan yang menjadi Metabolisme.
Studi universitasnya tentang urbanisme menempatkannya di posisi ideal untuk menangani proyek-proyek pembangunan kembali setelah Perang Dunia II Ide-idenya dieksplorasi dalam desain untuk Tokyo dan Skopje. Karya-karya Tange dipengaruhi generasi arsitek di seluruh dunia.
Awal Kehidupan
Lahir pada 4 September 1913 di Osaka, Jepang, Tange menghabiskan awal kehidupan di kota-kota Cina Hankow dan Shanghai, ia dan keluarganya kembali ke Jepang setelah belajar dari kematian salah satu pamannya. Berbeda dengan rumput hijau dan batu bata merah di Shanghai tempat tinggal mereka, keluarga Tange mengambil tinggal di sebuah rumah pertanian atap jerami di Imabari di pulau Shikoku.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Tange pindah ke Hiroshima pada tahun 1930 untuk menghadiri sekolah tinggi. Di sinilah ia pertama kali menemui karya-karya modernis Swiss, Le Corbusier. Penemuannya tentang gambar dari Istana Soviet di jurnal seni asing yakin dia untuk menjadi seorang arsitek. Meskipun ia lulus dari sekolah tinggi, hasil buruk Tange dalam matematika dan fisika berarti bahwa ia harus lulus ujian masuk untuk memenuhi syarat untuk masuk ke universitas bergengsi. Dia menghabiskan dua tahun melakukan hal tersebut dan selama waktu itu, dia banyak membaca tentang filsafat barat. Tange juga terdaftar di divisi film di departemen seni Nihon University Jepang untuk menghindari penyusunan laki-laki muda untuk kelas militer dan jarang dihadiri.
Awal Karir
Pada tahun 1935 Tange memulai studi tersier yang diinginkan di jurusan arsitektur Universitas Tokyo. Ia belajar di bawah Hideto Kishida dan Shozo Uchida. Meskipun Tange terpesona oleh foto-foto vila Katsura yang duduk di meja Kishida's, karyanya terinspirasi oleh Le Corbusier. proyek kelulusan Nya merupakan perkembangan tujuh belas-hektar ditetapkan dalam Tokyo Hibiya Park.
Setelah lulus dari universitas, Tange mulai bekerja sebagai arsitek di kantor Maekawa Kunio. Selama kerja, ia pergi ke Manchuria, berpartisipasi dalam lomba desain arsitektur untuk sebuah bank, dan tur Jehol Jepang yang diduduki pada kedatangannya. Ketika Perang Dunia Kedua dimulai, ia meninggalkan Maekawa untuk bergabung kembali dengan Universitas Tokyo sebagai mahasiswa pascasarjana. Ia mengembangkan minat dalam desain perkotaan, dan hanya referensi sumber daya yang tersedia di perpustakaan universitas, dia memulai studi Yunani dan Romawi pasar.
Pada tahun 1942, Tange memasuki sebuah kompetisi untuk desain Greater Asia Timur Co-Prosperity Sphere Memorial Hall. Dia telah diberikan hadiah pertama untuk desain yang seharusnya terletak di kaki Gunung
Fuji, ruang ia dikandung adalah perpaduan arsitektur kuil Shinto dan plaza di Capitoline Hill di Roma. Desain tidak terealisasi.
Pada tahun 1946, Tange menjadi asisten profesor di universitas dan membuka Tange Laboratorium. Pada tahun 1963, ia dipromosikan menjadi profesor dari Department of Urban Engineering. Murid-muridnya termasuk Sachio Otani, Kisho Kurokawa, Arata Isozaki, dan Fumihiko Maki.
Rekonstruksi Pasca Peperangan
Bunga Tange dalam studi urban menempatkannya dalam posisi yang baik untuk menangani rekonstruksi pasca perang. Pada musim panas tahun 1946 ia diundang oleh Badan Rehabilitasi Kerusakan Perang mengajukan proposal untuk kota perang tertentu rusak; ia menyerahkan rencana untuk Hiroshima dan Maebashi. Desainnya untuk bandara di Kanon diterima dan dibangun, namun sebuah taman tepi pantai di Ujina tidak.
Pihak berwenang Hiroshima mengambil banyak nasihat tentang rekonstruksi kota dari konsultan asing dan pada tahun 1947 Tam Deling, seorang perencana taman Amerika, disarankan untuk membangun Memorial Perdamaian dan melestarikan bangunan terletak di dekat ground zero (langsung di bawah ledakan bom atom) . Pada tahun 1949 otoritas yang berlaku di Hiroshima Peace Memorial Rekonstruksi UU, yang memberikan akses kota untuk bantuan hibah khusus, dan pada bulan Agustus tahun itu, sebuah kompetisi internasional diumumkan untuk desain dari Hiroshima Peace Memorial Park.
Tange telah diberikan hadiah pertama untuk desain yang diusulkan sebuah museum yang sumbu berjalan melalui taman, berpotongan Perdamaian Boulevard dan kubah bom atom. Bangunan ini dibesarkan piloti besar (kolom), yang bingkai pandangan sepanjang sumbu struktur itu.
Karir Selanjutnya
Selama tahun 1970-an dan 1980-an Tange memperluas portofolionya untuk menyertakan bangunan di lebih dari 20 negara di seluruh dunia. Pada tahun 1985, atas perintah Jacques Chirac, walikota Paris saat itu, Tange mengusulkan rencana induk untuk plaza di Place d'Italie yang akan interkoneksi kota sepanjang sumbu timur-barat.
Untuk Gedung Pemerintah Metropolitan Tokyo, yang dibuka pada tahun 1991, Tange dirancang sebuah pusat civic besar dengan alun-alun didominasi oleh dua gedung pencakar langit. rumah ini kantor-kantor pemerintahan sementara bangunan tujuh lantai yang lebih kecil berisi fasilitas perakitan. Dalam desain dari versi teknologi tinggi Kofu Pusat Komunikasi, Tange dilengkapi semua tiga bangunan dengan sistem manajemen state-of-the-art-bangunan yang dipantau kualitas udara, tingkat pencahayaan dan keamanan. Kulit luar bangunan membuat referensi ganda untuk kedua tradisi dan kondisi modern. Tange dimasukkan garis vertikal dan horizontal mengingatkan kedua asrama kayu dan baris pada papan semikonduktor.
Tange terus berlatih sampai tiga tahun sebelum kematiannya pada tahun 2005. Dia tidak menyukai postmodernisme pada tahun 1980 dan dianggap gaya arsitektur untuk menjadi "ekspresi arsitektur transisi" saja. Pemakamannya diadakan di salah satu karyanya, Katedral Tokyo.
Tadao Ando, salah satu arsitek terbesar Jepang hidup, suka menceritakan kisah anjing liar, sebuah akita megah, yang berkeliaran di studionya di Osaka sekitar 20 tahun usia, dan memutuskan untuk tinggal. "Pertama, saya pikir saya akan meneleponnya Kenzo Tange, tetapi kemudian saya menyadari saya tidak bisa menendang Kenzo Tange sekitar Maka aku memanggilnya Le Corbusier sebagai gantinya.."-Obituary di The Guardian
Warisan
Perluasan modular visi Tange's Metabolist memiliki beberapa pengaruh pada Archigram dengan mereka plug-in mega struktur. Gerakan Metabolist memberikan momentum untuk karir Kikutake's. Meskipun ia Marine City proposal (yang disampaikan oleh Tange di CIAM) tidak menyadari, ia Miyakonojo City Hall (1966) adalah contoh yang lebih Metabolist Budaya sendiri Tange's Nichinan Centre (1962). Meskipun Expo Osaka telah menandai penurunan dalam gerakan Metabolist, itu menghasilkan "penyerahan" dari memerintah ke generasi muda arsitek seperti Kazuo Shinohara dan Arata Isozaki.
Dalam sebuah wawancara dengan Jeremy Melvin di Royal Academy of Arts, Kengo Kuma menjelaskan bahwa, pada usia sepuluh tahun, ia terinspirasi untuk menjadi seorang arsitek setelah melihat Tange's arena Olimpiade, yang dibangun pada tahun 1964.
Untuk Reyner Banham, Tange adalah contoh utama penggunaan arsitektur Brutalist. penggunaan Nya selesai beton Brut Beton dengan cara mentah dan undecorated dikombinasikan dengan proyek-proyek sipil nya seperti pembangunan kembali Teluk Tokyo membuatnya pengaruh yang besar pada arsitek Inggris selama tahun 1960-an, Brutalist arsitektur telah dikritik karena tanpa jiwa dan untuk mempromosikan penggunaan eksklusif dari bahan yang tahan miskin pada eksposur lama untuk cuaca alam.
putra Paul Tange Tange Noritaka lulus dari Harvard University pada tahun 1985 dan melanjutkan untuk bergabung Kenzo Tange Associates. Ia menjadi presiden Kenzo Tange Associates pada tahun 1997 sebelum mendirikan Tange Associates pada tahun 2002
Kamis, 07 Mei 2015
Kenzo Tange Biography
22.55
Isna Fitriantika
No comments
Kenzo Tange
Kenzo Tange(born 1913) is a world - renowned Japanese architect of the second half of the twentieth century who has fused the architectural traditions of his native Japan with the contemporary philosophy and traditions of the western world. Kenzo Tange, as well as most architects of Kenzo Tange's generation, was greatly influenced by the principles of the Congres Internationaux d'Architecture Moderne (CIAM - 1928) and the individuals identified with that organization including Le Corbusier, Walter Gropius, and Siegfried Giedion.
Kenzo Tange believed that the Japanese people were searching for a freedom of expression that would symbolize a new postwar Japanese society free from the technocratic regimes of the past. Kenzo Tange's work marked a revived awareness of Japanese architectural traditions expressed through a contemporary interpretation of architectural form. Kenzo Tange nas become an architect of the world largely because his work is so intensely Japanese. Kenzo Tange demonstrated that a unique regionalism could be developed, and recognized, within the circumstance of the international style.
Kenzo Tange was born on September 4, 1913 in the port city of Imabari, Ehime Prefecture. Imabari is on the Takanawa penisula, which is located on the island of Shikoku, the smallest (50 mi wide by 150 mi long) of the four major islands of Japan. Shikoku is nationally recognized as the land of 88 holy temples and shrines that honor the scholar-priest Kukai. Imabari is the ancient site of early Vayoi (100 B.C.) settlements.
Kenzo Tange attended high school in Hiroshima on the main island of Honsho some 40 miles across the inland sea from his home in Imabari. All of Kenzo Tange's formal professional education was acquired in Imperial Japan before the end of World War II. In 1935, at the age of 22, Kenzo Tange entered the Tokyo Imperial University and took architectural courses in the Department of Engineering, graduating in 1938.
In 1938 Kenzo Tange sought employment in the office of Kunio Maekawa. Bauhaus principles had a strong influence on Japanese architects in the 1930s and Maekawa was clearly one of the most influential Japanese architects of his generation. In design competitions calling for a traditional Japanese approach, Maekawa's unsuccessful submissions were clearly developed in the international style. In perfecting Kenzo Tange's design philosophy Maekawa drew on his five-year work experience with Antonin Raymond in Japan and his experience in Paris with the office of Le Corbusier working on the Villa Savoye and the Swiss Pavilion.
In Kenzo Tange's four years of employment with Maekawa, he assimilated these experiences from his mentor. While in Maekawa's office, Kenzo Tange joined the Japanese Werkbund and was responsible for the planning of the Kishi Memorial Gymnasium. A generation later the office of Kenzo Tange and URTEC was to provide the same type of vital work environment for such notable young Japanese architects as Kisho Kurokawa, Fumihiko Maki (two of the five metabolist group), Arata Isozaki, and Sachio Otani.
Kenzo Tange returned to Tokyo University in 1942 for graduate study. It was during this period that Kenzo Tange developed his lifelong interest in urban design. Under the influence of a classmate, Ryuichi Hamaguchi, Kenzo Tange was attracted to western Renaissance architecture, especially the works of Michelangelo. Kenzo Tange developed a strong sense of the greatness of Rome and Greece. While in graduate school, Kenzo Tange identified the concept of "communication space," which was to be an important part of Kenzo Tange's future work. This concept, derived from his study of the Greek agora and European plazas as public meeting places, was a revolutionary one within the Japanese culture where there is no tradition of public space.
books about architecture
In 1942, Kenzo Tange was awarded first prize for his design or a Far East memorial building, which was sponsored by the Japanese Architectural Institute. In 1943, Kenzo Tange won a prize for his plan for a Japanese-Thai cultural center in Bangkok. Kenzo Tange completed his graduate study in 1945 at the age of 32. In 1946 Kenzo Tange accepted a professorship at Tokyo University.
Kenzo Tange's private practice began in 1949 with his successful submission to the open competition for the Hiroshima Peace Center located in the city of his high school experience. This project ultimately became Kenzo Tange's first executed permament building (1950). Previously, Kenzo Tange had designed a pavilion of local priducts for at the end of the exposition. The Hiroshima Peace Center was one the first postwar budildings in Japan to develop fully the characteristics of the international style, with an exposed concrete structure and architectural elements that were individually articulated. The influence of Le Corbusier was clearly evident.
In 1951, Kenzo Tange and Maekawa attended the eighth CIAM (Congres Internationaux d'Architecture Moderne) conference. "The Heart of the City" was the theme of the conference, and Kenzo Tange was requested to present his award-winning design for the Hiroshima plan reconstruction. After meeting with Le Corbusier and visiting the construction site of Unite d'Habitation in Marseilles, Kenzo Tange was convinced of the viability of his plan for Hiroshima.
Because of the reorganization of local governments after World War II, a large number of commissions for municipal and prefectual headquarters became available. Kenzo Tange's success with the Hiroshima Peace Center provided him with a number of these commissions, and allowed him to develop further his use of the exposed concrete structural frame, which culminated in the construction of the Kurashiki City Hall, Okayama Prefecture (1958-1960).
By 1957, Kenzo Tange and his associates had adopted the firm name Kenzo Tange and URTEC (derived from the term urbanist architect). It is most probable that this team approach was developed on the model of Walter Gropius and TAC (The Architects Collaborative).
The international design community was focused on Japan and the Tokyo World Design Conference scheduled for 1960. As the program chairman for the conference, Kenzo Tange was inspired to work on a proposal for a large-scale urban design scheme. During his visiting professorship at the Massachusetts Institute of Technology in 1959, Kenzo Tange worked for four months with a fifth-year design studio on an urban design scheme that would accommodate housing for 25,000 people over the Boston Bay. This experience helped to develop and clarify Kenzo Tange's ideas on a plan for Tokyo.
A Plan for Tokyo, 1960: Toward a Structural Reorganization was published and presented by Kenzo Tange at the Tokyo World Design Conference. The plan proposed a linear organized matrix for Tokyo Bay, which was to be an extension of the uncontrolled expansion of the city proper. This urban matrix was an adaptation of Kenzo Tange's architectural notions of structural order, expression, and urban "communication space." This approach to large-scale urban design was later applied to the award-winning proposal Kenzo Tange submitted for the reconstruction of the city of Skopje in Yugoslavia (1965).
The Tokyo plan led Kenzo Tange to begin an architectural exploration of the plastic nature of suspended structural form in his design for Saint Mary's Cathedral, Tokyo (1961-1964). This exploration demonstrated a significant break with Kenzo Tange's Corbusian past and cul minated in his design for the Olympic Sports Hall, Tokyo (1964). In 1966, the first megastructural complex combining Kenzo Tange's notions of structural expression and the metabolists' notions of growth systems was constructed. Kenzo Tange's design for the Yamanashi Press and Broadcasting Center, build in Kofu, Japan, allowed Kenzo Tange to give metabolic life to Arata Isozaki's (URTEC) seminal studies for City in the Air (1962).
Kenzo Tange continued to develop the ideas brought together in the Yamanashi Press and Bradcasting Center. The KUwait Embassy and Chancery Building in Tokyo (1970) and the University of Oran proposal in Algeria (1972) each demonstrate further development of a metabolic architecture that suggests incompleteness, flexibility, and the potential for change and growth.
The international oil crisis and popular skepticism, in the mid-1970s, of large-scale urban projects based on megastructures reduced the number of projects of this type in Japan. Most of Kenzo Tange's practice shifted to the developing, oil-rich Arab countries where Kenzo Tange continued to apply his stmcturalist-metabolistic ideas to projects such as the Moroccan Capital and International Congress Hall (1978).
Kenzo Tange's smaller, individual projects reflect his return to the aesthetics of the late modern movement, as can be seen in the Minneapolis Society of Fine Arts Building, Minnesota (1974), the Hanae Moi Building in Tokyo (1978), and the Akasaka Prince Hotel, Tokyo (1982). Kenzo Tange's interest in old Japanese traditions, in which many of his aesthetic principles have their roots, has been demonstrated by Kenzo Tange's collaboration with Naburo Kawazoe on the following publications: Katsura: Tradition and Creation in Japanese Architecture (1960), foreword by Walter Gropius, and Ise: Prototype of Japanese Architecture (1965).
In a discussion of postmodernism in 1983, Kenzo Tange suggested that if young architects are not allowed to lapse into flights of fancy without being labeled for their divergence, then architecture as expression cannot progress. If the expression of reality is considered modernism, then the architectural expression of a shift from an agrarian to an industrial to an information-based siciety must also be a type of modernism.
Major works:
- Peace Memorial Park of Hiroshima, 1955
- (Former)Tokyo Metropolitan Government Building, Yurakucho, 1957
- Kagawa Prefectural Government Building, Takamatsu, Kagawa, 1958
- St. Mary's Cathedral (Tokyo Cathedral) (Roman Catholic), Tokyo, 1964
- Site of Expo '70, Suita, Osaka- 1964: Yoyogi National Gymnasium for the 1964 Summer
Olympics, Tokyo, 1970
- Hanae Mori Building Aoyama, Tokyo, 1979
- Nanyang Technological University, Singapore, 1986
- Tokyo Metropolitan Government Building, Shinjuku, 1991
- Fuji Television Building, Odaiba, Tokyo, 1996
- WKC Centre For Health Development, Kobe, Hyogo, 1998
- Tokyo Dome Hotel, 2000
- Hwa Chong Institution Boarding School, Singapore, 2005